Emotion - Being A Bitch or Just Too Strong?

Dalam mengolah emosi, setiap orang bisa berbeda-beda. Ada yang sedikit-sedikit terbawa perasaan, ada yang sedikit-sedikit marah, ada pula yang sedikit-sedikit cuek. Sebenernya ini post juga kayaknya ga berfaedah sih untuk dibaca, gw juga ga tau kenapa gw bisa terinspirasi oleh seseorang dalam menulis post ini.




Maksudnya gw terinspirasi adalah, ketika seseorang mengutarakan kegundahan hatinya melalui media WhatsApp, gw jadi sedikit flash back ke waktu-waktu dimana menurut gw sangat powerful dalam kehidupan gw. Flash back tersebut semacam jadi re-scanning terhadap kehidupan yang telah gw jalani. Dan hal ini yang membuat jadi aneh sendiri.



AM I BEING A BITCH OR AM I JUST TOO STRONG ?


Ya, jadinya itu adalah pertanyaan yang terlintas di benak gw.

Sewaktu gw menjalani masa-masa prosesi pernikahan menuju sah, ya artinya gw sedang berhadapan dengan penghulu dan almarhum bokap gw, banyak orang yang bilang bahwa momentum akad nikah merupakan acara yang khidmat dan sakral karena pada saat itulah terakhir kali orang tua kita menjadi orang tua yang sepenuhnya bertanggung jawab terhadap diri kita dan juga itu adalah masa dimana para malaikat berkumpul.


Pada saat bapak penghulu meminta almarhum bokap gw untuk menyampaikan sepatah-duapatah kata ke kami berdua, gw dan (masih) calon suami gw, beliau berlinang air mata. Gw? Biasa aja. Ga ada ingatan-ingatan spesial yang bisa gw tangisi di proses perpindahan status ini. Entahlah, mungkin karena hidup gw dan bokap gw terlalu banyak drama kali ya? We didn't get along that much either, back then. Gw sempat melirik ke sekeliling, terdapat aura haru di sekitar lokasi akad ini, yang mana gw JADI PUSAT AURA HARU ITU. Tapi gw sama sekali ga merasakan. It was just weird when I think about it now! Years after it!


Kejadian kedua adalah sewaktu almarhum bokap gw kolaps dan akhirnya meninggal. Orang kedua yang menemukan bokap gw kolaps adalah gw, yang pertama adalah nyokap gw dan waktu itu beliau langsung pergi ke rumah seorang dokter yang mana itu adalah tetangga depan rumah gw. Again, sewaktu gw menemukan bokap gw dengan kondisi bibir membiru akibat kekurangan oksigen dan tidak mendengar detak jantung sewaktu gw mendekatkan telinga gw ke dadanya, gw merasa ga panik atau apa. Yang ada di pikiran gw waktu itu adalah bagaimana caranya gw bisa bikin bokap gw bisa kembali bernapas karena gw suspect bokap gw mengalami cardiac arrest dan tanpa pikir panjang gw pun melakukan CPR (Cardio Pulmonary Resucitation). Ga berapa lama setelah gw memberikan tindakan CPR tersebut, bokap gw menunjukan tanda kehidupan dengan batuk walau akhirnya jadi tidak sadarkan diri. You know what? Ini adalah kejadian yang menegangkan kalau seandainya kalian pernah lihat di film-film. Gw bukan dokter ataupun praktisi kesehatan. Entah darimana gw punya pikiran soal cardiac arrest dan CPR itu.


Kejadian ketiga juga sewaktu gw mendapatkan telepon dari suami gw yang memberitakan bahwa bokap gw sudah almarhum. Gw ga nangis, man! What's so wrong with me? Selama 3 hari almarhum bokap gw mendekam di ruang ICU sebuah rumah sakit, gw pun tidak ada perasaan apa-apa. Sekedar seperti hanya sebuah rutinitas dalam hidup gw: gantian jaga dengan nyokap dan suami. Terlebih ketika gw melihat almarhum bokap gw di kamar jenazah tengah malam itu. Gw hanya bisa bilang selamat jalan ke almarhum bokap gw tanpa ekspresi.


Gw bukan orang psiko kan ya? I mean, dari kedua kejadian tersebut yang amat sangat kuat pengaruhnya bahkan bisa jadi mengubah sifat seseorang, they don't affect me in many ways... IDK! Satu-satunya momen gw nangis sejadi-jadinya adalah ketika gw mengantar jenazah bokap gw ke rumahnya yang baru. Begitu melihat suami gw dan beberapa tetangga menimbun tanah ke atas jenazah almarhum bokap gw, baru saat itu gw menangis meraung-raung sejadinya. Kaya orang gila that I needed to be handled with 3 people!


C'mon! After all this time? Baru sedihnya sekarang? Am I A Bitch?


Apa mungkin gw bisa jadi seperti itu karena gw ini anak tunggal dan sudah menikah serta masih ada tanggung jawab? Yeah, gw juga punya teman yang sesama anak tunggal, but they aren't like me. I don't know. Maybe I am just a defect product from a factory?


Kalau pada saat terakhir dengan almarhum bokap gw sih, gw merasa bahwa gw masih harus bertanggung jawab terhadap nyokap gw. Walaupun bokap gw bukan pribadi yang menyenangkan selama hidupnya, but still he is my father. He is the one brought me to life.


I saw my mom has mentally broken down. Mourning over the loss for more than a month. I felt like, kalau gw juga seperti itu, apa jadinya nyokap gw nanti? She only got me and her grandson as her grip. Apa jadinya juga nanti tante gw? Suami gw? Terlebih anak gw yang saat itu lagi butuhnya perhatian karena belum genap setahun.


Sometimes, when I got time to think it over things that already passed, I feel like that I am nothing because being an emotionless person. But really am I an emotionless person?

Comments